Sunday, August 22, 2010

Ciri-ciri Malam Lailatul Qodar

Dinamakan lailatul qodr karena pada malam itu malaikat diperintahkan oleh Allah swt untuk menuliskan ketetapan tentang kebaikan, rezeki dan keberkahan di tahun ini, sebagaimana firman Allah swt :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ﴿٣﴾

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾

أَمْرًا مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾

Artinya : ”Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad Dukhan : 3 – 5)

Al Qurthubi mengatakan bahwa pada malam itu pula para malaikat turun dari setiap langit dan dari sidrotul muntaha ke bumi dan mengaminkan doa-doa yang diucapkan manusia hingga terbit fajar. Para malaikat dan jibril as turun dengan membawa rahmat atas perintah Allah swt juga membawa setiap urusan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di tahun itu hingga yang akan datang. Lailatul Qodr adalah malam kesejahteraan dan kebaikan seluruhnya tanpa ada keburukan hingga terbit fajar, sebagaimana firman-Nya :

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾

Artinya : ”Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qodr : 4 – 5)

Diantara hadits-hadits yang menceritakan tentang tanda-tanda lailatul qodr adalah :

1. Sabda Rasulullah saw,”Lailatul qodr adalah malam yang cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari pada hari itu bersinar kemerahan lemah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang dishahihkan oleh Al Bani.

2. Sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qodr lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya.” (HR. Ibnu Hibban)

3. Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya para malaikat pada malam itu lebih banyak turun ke bumi daripada jumlah pepasiran.” (HR. Ibnu Khuzaimah yang sanadnya dihasankan oleh Al Bani)

4. Rasulullah saw berabda,”Tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya cerah tanpa sinar.” (HR. Muslim)

Terkait dengan berbagai tanda-tanda Lailatul Qodr yang disebutkan beberapa hadits, Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan,”Semua tanda tersebut tidak dapat memberikan keyakinan tentangnya dan tidak dapat memberikan keyakinan yakni bila tanda-tanda itu tidak ada berarti Lailatul Qodr tidak terjadi malam itu, karena lailatul qodr terjadi di negeri-negeri yang iklim, musim, dan cuacanya berbeda-beda. Bisa jadi ada diantara negeri-negeri muslim dengan keadaan yang tak pernah putus-putusnya turun hujan, padahal penduduk di daerah lain justru melaksanakan shalat istisqo’. Negeri-negeri itu berbeda dalam hal panas dan dingin, muncul dan tenggelamnya matahari, juga kuat dan lemahnya sinarnya. Karena itu sangat tidak mungkin bila tanda-tanda itu sama di seluruh belahan bumi ini. (Fiqih Puasa hal 177 – 178)

Perbedaan Waktu Antar Negara

Lailatul qodr merupakan rahasia Allah swt. Untuk itu dianjurkan agar setiap muslim mencarinya di sepuluh malam terakhir, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Carilah dia (lailatul qodr) pada sepuluh malam terakhir di malam-malam ganjil.” (HR. Bukhori Muslim).

Dari Abu Said bahwa Nabi saw menemui mereka pada pagi kedua puluh, lalu beliau berkhotbah. Dalam khutbahnya beliau saw bersabda,”Sungguh aku diperlihatkan Lailatul qodr, kemudian aku dilupakan—atau lupa—maka carilah ia di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam ganjil.” (Muttafaq Alaihi)

Pencarian lebih ditekankan pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Umar bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah saw bermimpi tentang Lailatul Qodr di tujuh malam terakhir. Menanggapi mimpi itu, Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat mimpi kalian bertemu pada tujuh malam terakhir. Karena itu barangsiapa hendak mencarinya maka hendaklah ia mencari pada tujuh malam terakhir.”

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Carilah ia di sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang kalian lemah atau tdak mampu maka janganlah ia dikalahkan di tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ath Thayalisi)

Malam-malam ganjil yang dimaksud dalam hadits diatas adalah malam ke- 21, 23, 25, 27 dan 29. Bila masuknya Ramadhan berbeda-beda dari berbagai negara—sebagaimana sering kita saksikan—maka malam-malam ganjil di beberapa negara menjadi melam-malam genap di sebagian negara lainnya sehingga untuk lebih berhati-hati maka carilah Lailatul Qodr di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Begitu pula dengan daerah-daerah yang hanya berbeda jamnya saja maka ia pun tidak akan terlewatkan dari lailatul qodr karena lailatul qodr ini bersifat umum mengenai semua negeri dan terjadi sepanjang malam hingga terbit fajar di setiap negeri-negeri itu.

Karena tidak ada yang mengetahui kapan jatuhnya lailatul qodr itu kecuali Allah swt maka cara yang terbaik untuk menggapainya adalah beritikaf di sepuluh malam terakhir sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Ciri-ciri Orang Yang Mendapatkan Lailatul Qodr

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dai Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa melakukan qiyam lailatul qodr dengan penuh keimanan dan pengharapan (maka) dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.”

Juga doa yang diajarkan Rasulullah saw saat menjumpai lailatul qodr adalah ”Wahai Allah sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi Maaf, Engkau mencintai pemaafan karena itu berikanlah maaf kepadaku.” (HR. Ibnu Majah)

Dari kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa dianjurkan bagi setiap yang menginginkan lailatul qodr agar menghidupkan malam itu dengan berbagai ibadah, seperti : shalat malam, tilawah Al Qur’an, dzikir, doa dan amal-amal shaleh lainnya. Dan orang yang menghidupkan malam itu dengan amal-amal ibadah akan merasakan ketenangan hati, kelapangan dada dan kelezatan dalam ibadahnya itu karena semua itu dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridho Allah swt.

Wallahu A’lam

Sumber : http://www.eramuslim.com/  Oleh Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz

Thursday, August 19, 2010

Kalau Bisa Dipersulit Mengapa Dipermudah?

Siapa tidak kenal ungkapan paling populer ini?
Simak bagaimana penerapannya secara positif bagi pengembangan diri.

Jika Anda pernah berurusan dengan birokrasi swasta maupun pemerintah di Republik ini, Anda pasti tidak asing dengan ungkapan i atas. Itulah ungkapan yang menggambarkan buruknya sikap mental para birokrat yang seharusnya punya kredo melayani publik, namun sebaliknya justru mereka yang akhirnya harus dilayani publik. Tak heran jika kita mengurus perizinan atau proses tertentu, maka dengan segala kelihaiannya para birokrat itu akan mempersulitnya. Akibatnya urusan jadi bertele-tele dan benar-benar menyita waktu. Jika kita takluk, maka mau tidak mau harus merelakan sejumlah uang untuk mempercepat urusan tersebut. Kebiasaan ini pula yang melestarikan mental korupsi di masyarakat kita. Jadi, ungkapan kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah benar-benar menjadi penyakit mental yang luar biasa mengesalkan dan merugikan.

Kalau demikian adanya, bagaimana mungkin ungkapan tentang penyakit mental itu bisa diaplikasikan secara positif? Bukankah jika semakin banyak orang melakukannya, maka akan semakin runyam pula situasi yang kita hadapi?

Mari sejenak membayangkan, misalnya saja Anda yang cenderung mudah sekali kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya, segala hal yang Anda lakukan jadi buruk hasilnya. Nah, seandainya saja ada formula yang membuat Anda bisa ‘mempersulit’ munculnya rasa kurang percaya diri tersebut, kira-kira akankah pekerjaan yang Anda lakukan bisa memberi hasil lebih baik? Kemungkinan besar kinerja Anda akan lebih bagus hasilnya jika Anda bisa melakukannya dengan penuh percaya diri. Jadi titik perhatiannya adalah mempersulit munculnya rasa kurang percaya diri.

Ya, sesederhana itulah prinsipnya. Persulit munculnya hal-hal atau kebiasaan negatif. Dengan strategi itu, kemungkinan Anda bisa lebih matang dan efektif sebagai pribadi. Nah, hal atau kebiasaan negatif apa saja yang harus dipersulit atau tidak boleh dipermudah kemunculannya? Berikut uraian ringkasnya:

1. Negative Thinking
Pola pikir negatif adalah pola pikir yang dipenuhi oleh sikap apriori, prasangka, ketidakpercayaan, kecurigaan, dan kesangsian yang umumnya tanpa nalar maupun tanpa dasar sama sekali. Umumnya pola pikir negatif adalah cara-cara memandang suatu persoalan dengan mengabaikan rasionalitas, logika, fakta, atau informasi yang relevan. Sungguh pun begitu, rasionalitas pun bisa terjerumus dalam kerangka berpikir negatif. Artinya, seseorang bisa memanfaatkan rasionalitasnya untuk memandang secara negatif. Ini justru lebih berbahaya lagi karena negativisme ini justru banyak muncul di kalangan terdidik yang belum tercerahkan dan matang sikap mentalnya. Dampak buruk dari mudahnya kita berpikir negatif adalah sulitnya kita menerima pendapat orang lain, sulit menerima hal baru, sulit bersosialisasi, dan sering muncul sebagai pribadi yang kurang menarik untuk diajak kerjasama. Jika Anda merasa mudah berpikir negatif, maka persulitlah kemunculannya.

2. Rasa Malas
Rasa malas diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Rasa malas menggambarkan hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan atau apa yang sesungguhnya dia inginkan. Masuk dalam keluarga besar rasa malas adalah rasa sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban, menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, dll. Jika keluarga besar dari rasa malas ini mudah sekali muncul dalam aktivitas sehari-hari kita, maka dijamin kinerja kita akan jauh menurun. Bahkan bisa jadi kita tidak pernah bisa mencapai sesuatu yang lebih baik sebagaimana yang kita inginkan. Sekalipun seseorang memiliki cita-cita atau impian yang besar, jika kemalasannya mudah muncul, maka cita-cita atau impian besar itu akan tetap tinggal di alam impian. Jadi, jika Anda ingin maju, persulit kemunculan kemalasan itu.

3. Kemarahan
Kemarahan adalah tumpahan perasaan atau luapan emosi yang biasanya diikuti dengan egoisme, perasaan jengkel, benci, gusar, kecewa, dan menyalahkan pihak lain. Sejalan dengan rasa marah ini, maka seseorang yang mengalaminya akan mudah sekali kehilangan akal sehat dan kontrol diri. Seorang berkepribadian reaktif, impulsif, dan berpola pikir negatif akan cenderung mudah kehilangan kendali atas perasaannya. Akibatnya bila bentuk perasaan itu adalah kemarahan, maka yang bersangkutan bisa nampak seperti orang yang kehilangan kepribadian.

Kemarahan selalu berdampak negatif bagi siapa pun di sekitar orang itu. Apalagi jika perwujudannya mengarah ke pelampiasan secara fisik. Bad temper bisa menjadi penyakit kejiwaan yang kronis dan berbhaya. Dampak negatif dari mudahnya rasa marah muncul ke permukaan adalah buruknya relasi orang bersangkutan. Beberapa orang dengan kematangan pribadinya mampu mengelola rasa marah secara positif. Namun kebanyakan orang sulit mengendalikan rasa marahnya. Oleh sebab itu, jika ingin sukses dalam relasi pribadi dan sosial, persulitlah munculnya rasa marah berlebihan.

4. Kecerobohan
Kecerobohan sma artinya dengan kekurangwaspadaan atau kelalaian. Kecerobohan adalah simbol ketidakmatangan pribadi. Ini merupakan sikap atau perilaku yang berbahaya sekali. Terutama jika seseorang berada di titik-titik kritis dan sangat menentukan dalam perjalanan hidupnya, dan pada saat yang sama dirinya harus mengambil keputusan atau menentukan pilihan. Kecerobohan mudah muncul jika seseorang malas belajar dari pengalaman, enggan mendengar nasihat orang yang kompeten, dan mudah muncul pula karena seseorang memiliki perasaan sombong atau egoisme. Pribadi yang efektif akan berusaha semaksimal mungkin menghindari sikap lalai atau ceroboh. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan kebiasaan menimbang atau memperhitungkan segala aspek dengan cermat, teliti, fokus, dan terkonsentrasi. Jika ingin memperkecil kegagalan atau penyesalan, maka persulitlah munculnya sikap ceroboh.

5. Rasa Takut
Rasa takut adalah penyakit kronis yang juga sangat merugikan. Rasa takut biasanya muncul jika seseorang kurang memahami suatu persoalan, kurang mendapat informasi, tidak terbiasa bersikap praktis, atau memang karena penyakit-penyakit psikologis seperti trauma masa lalu. Rasa takut yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman, informasi, atau kurangnya kebiasaan bertindak relatif mudah diatasi. Tetapi rasa takut akibat trauma memang tidak mudah dihilangkan. Walau begitu, menghilangkan rasa takut benar-benar bisa dilatih. Orang bisa karena terbiasa. Demikian juga orang bisa berani karena terbiasa. Jika ingin menjadi pribadi yang penuh percaya diri dan berani, persulitlah munculnya rasa takut.

Nah, Anda bisa memperpanjang sendiri daftar hal-hal atau kebiasaan negatif yang memang harus dipersulit kemunculannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan bukan sekedar dipersulit. Jika memungkinkan, enyahkanlah hal-hal negatif tersebut. Kehidupan yang lebih efektif dan bermanfaat sudah pasti bisa dinikmati. Selamat mempersulit hal-hal yang tidak perlu dipermudah!

Sumber : http://www.resensi.net/
"Kalau Bisa Dipersulit Mengapa Dipermudah ? oleh Edy Zaqeus"

Tuesday, August 10, 2010

Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan

1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar

Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].

Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154].

Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]

Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta'ala a'lam

2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari'at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari'at yang telah ditetapkan : "Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]

Dan dari Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura" [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].

Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.

3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa' tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : "Apakah kalian puasa pada hari ini ?" sebagian mereka menjawab : "Ya" dan sebagian yang lainnya menjawab : "Tidak" (Kemduian) beliau bersabda : "Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini". Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih]

Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura".

Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent)

Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a'lam.

Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha'

Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a'lam.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : "Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : "Kalian puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha'lah kalian".

Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : "(Dia) tidak dikenal" Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : "Keduanya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil.
2. Ada 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.

Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
Sumber : www.salafy.or.id

Tata Cara Menyambut Bulan Ramadhan

Oleh : Al-Ustadz Abul Mundzir Dzul-Akmal As-Salafy

Dari Sahl bin Sa`ad radhiallahu `anhu, dari Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :


((إن فى الجنة بابا يقال له : الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة، لا يدخل منه أحد غيرهم فإذا دخلوا أغلق، فلم يدخل منه أحد, فإذا دخل آخرهم أغلق، ومن دخل شرب، ومن شرب لم يظمأ أبدا ))

Artinya : “Sesungguhnya di jannah ada sebuah pintu dinamakan “Ar Rayyaan”, yang akan masuk ke dalamnya hanya orang yang berpuasa saja, tidak akan masuk ke dalamnya selain dari mereka, apabila orang orang yang berpuasa itu sudah masuk lalu pintunya akan ditutup, tidak akan ada lagi yang masuk setelah itu, dalam lafadz lain : apabila telah masuk orang yang paling terakhir dari orang orang yang berpuasa itu lantas pintunya ditutup, setiap yang masuk akan minum, dan barang siapa yang sudah minum dia tidak akan haus selama lamanya.” Hadits dikeluarkan oleh : Al Bukhariy (4/95), Muslim (1152) dan tambahan hadits yang terakhir dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam “shohihnya” (1903).


Kaum muslimin rahimakumullah ! sebelum kita melangkah untuk menjelaskan tentang tata cara menyambut bulan Ramadhan alangkah baiknya kami jelaskan dulu masalah masalah sebagai berikut :

1. Syarat sahnya atau diterimanya satu `amalan disisi Allah Ta`ala.
2. Bagaimana Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shahabat-nya menyambut bulan suci ini??
3. Bagaimana cara kebanyakan masyarakat dalam menyambutnya??
4. Hadits hadist palsu, lemah mengenai keutamaan Ramadhan yang menyebar dikalangan masyarakat.

Syarat sahnya atau diterimanya satu `amalan disisi Allah Ta`ala.

Kaum muslimin hadaakumullah ! Seorang muslim yang betul betul muslim adalah yang mengetahui tujuan hidupnya di dunia ini, untuk apa dia diciptakan ? kemana tujuan akhir dari hidupnya tersebut? dan apa yang sudah dipersiapkan olehnya untuk menghadapi tujuan itu ?

Kaum muslimin rahimakumullah ! Allah `Azza wa Jall telah menjelaskan kepada hamba-Nya secara gamblang dan jelas sekali bahwa Dia menciptakan kita ini adalah semata mata untuk ber-ibadat kepada-Nya. Sebagai tertera dalam ayat-Nya :

((وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون)). الذاريات (56).


Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk ber-ibadat kepada-Ku.” Ad Dzaariyaat (56).


Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta`ala menjelaskan kepada kita tentang difinisi ibadat, beliau berkata : “Al Ibadat ialah : Penamaan yang sangat luas sekali dan mencakup kepada apa apa yang dicintai dan diredhoi oleh Allah Ta`ala baik dari segi perkataan (ucapan) dan `amalan yang nampak dan yang tidak nampak, kemudian berlepas diri dari segala bentuk bentuk `amalan yang bertentangan dengannya.” Lihat kitab “Al `Ubudiyyah” hal. 4. (nukilan dari kitab “A`laamus Sunnah Al Mansyuurah” hal. 32, oleh Al Imam Al Haafidz Al Hakamiy.

Adapun syarat ibadat atau amalan diterima oleh Allah Ta`ala sebagaimana yang telah diterangkan oleh para `ulam Ahlus Sunnah wal Jama`ala (Salafus Sholih) ada dua syarat :


1. Ikhlaasun Niyyah. (Niyat yang ikhlaas) - Hendaknya `amalan itu betul-betul ikhlas

Al Imam Al Haafidz Al Hakamiy memberikan difinisi tentang ikhlaasun niyyah ini sebagai berikut : “Hendaknya tujuan dari seorang hamba itu dalam seluruh perkataan dan amalannya baik yang nampak ataupun tidak semata mata hanya untuk mencari keridhoan Allah Ta`ala saja bukan ada tendensi yang lainnya.” Seperti yang dijelaskan oleh-Nya :

((وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء)). البينة (5).


Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya ber-ibadat kepada Allah denan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam menjalankan Din (Agama) yang lurus.” Al Baiyyinah (5).

((وما لأحد عنده من نعمة تجزى، إلا ابتغاء وجه ربه الأعلى)). الليل (19-20



Artinya : “Padahal tidak ada seorangpun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi dia memberikan itu semata mata untuk mencari keridhoan Rab-nya Yang Maha Tinggi.” Al Lail (19-20).

((إنما نطعمكم لوحه الله لا نريد منكم جزاء ولا شكورا)). الإنسان (9).


Artinya : “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan syukur.” Al Insaan (9).

((من كان يريد حرث الأخرة نزده له فى خرثه ومن كان يريد حرث الدنيا نؤته منها وما له فى الآخرة من نصيب)). الشورى (20).


Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebahagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat nanti.” As Syuuraa (20).

((من كان يريد الخياة الدنيا وزينتها نوف إليهم أعمالهم فيها وهم فيها لا يبخسون))، أولئك الذين ليس لهم فى الأخرة إلا النار وحبط ما صنعوا فيها وباطل ما كانوا يعملون)). هود (15-16).


Artinya : “Barangsiapa yang meng-inginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami akan berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia sialah apa yang telah mereka kerjakan.” Huud (15-16). Lihat : “A`laamus Sunnah Al Mansyuurah” hal. 34, oleh Al Hakamiy.

Di dalam ayat yang lain Allah Subhaana wa Ta`ala menegaskan juga :

((قل إن صلاتى ونسكى ومحياى ومماتى لله رب العالمين، لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين)). الأنعام (162-163)


Artinya : Katakanlah : “Sesungguhnya sholatku, nusuk (sembeliha)-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rab semesta `alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama tama menyerahkan diri secara total kepada Allah.” Al An`am (162-163).

Kaum muslimin rahimakumullah ! Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dalam satu hadits yang shohih juga telah menjelaskan kepada kita tentang penting peranan niat dalam ber-`amal ini. Sebenarnya kalau seorang muslim yang benar benar mau menta`ati Rab-nya dengan segala peribadatan yang diwajibkan dan dianjurkan kepadanya sudah tentu dia harus memenuhi syarat yang pertama ini dalam `amalannya, sebab inilah sebenarnya makna dari rukun syahadat yang pertama yaitu : “Laa ilaaha Illallahu.”


((عن أمير المؤمنين أبى حفص عمر بن الخطاب- رضىالله عنه قال : سمعت رسول الله صلىالله عليه وسلم يقول : "إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه)).


Artinya : Dari Amiril mu`minin Abi Hafsh `Umar bin Al Khatthaab radhiallahu `anhu berkata ; saya telah mendengar Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Sesungguhnya `amalan amalan itu tergantung kepada niat dan sesungguhnya setiap manusia itu apa yang dia niatkan, barang siapa hijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya dinilai kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya untuk mencari kepentingan dunia atau semata mata hanya ingin menikahi seorang wanita maka hijrahnya dinilai kepada apa yang dia niatkan tadi.” Hadits diriwayatkan oleh Al Bukhaariy dan Muslim.


Ma`syaral muslimin rahikumullah ! tentu timbul pertanyaan di benak kita, kenapa ikhlaas itu merupakan makna dari syahadat yang pertama ? Kaum muslim yang dimuliakan Allah Ta`ala; kalau kita melihat kepada kalimatut Tauhiid yaitu :

((لا إله إلا الله)) معناها ((لا معبود بحق إلا الله)).


“Laa Ilaaha Illallahu,” dengan makna yang sebenarnya ialah : “Tidak ada yang berhaq untuk di-ibadati kecuali Allah saja,” maka ketika seseorang yang sudah mengucapkan kalimat ini, apakah dia baru masuk ke dalam Din Islam atau dia sebagai seorang muslim, seketika itu berarti dia sudah bersumpah, berjanji, ber-ikrar kepada Allah `Azza wa Jall bahwa dia akan meng-ikhlaaskan seluruh keta`atan (ibadat) nya semata mata hanya untuk Allah Subhaana wa Ta`ala saja, dengan menafi (meniada)kan seluruh peribadatan selain kepada Allah Ta`ala, serta berlepas diri dari As Syirk, Al Bid`ah, Al Khuraafat dan selainnya yang merupakan lawan dari “Kalimatut Tauhiid” ini.
Allah Subhaana wa Ta`ala berkata :

((لا إكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغى فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم)). البقرة (256)

Artinya : “Tidak ada paksaan untuk memasuki Din Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaaghuut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Al Baqarah (256). Thaaghuut ialah apa saja yang diibadati selain daripada Allah.


2. Hendaknya `amalan itu betul betul sesuai dengan As Sunnah (cara Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam).

Al Mutaaba`ah/Al Muwaafaqoh (mengikuti/sesuai) dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan di`amalkan oleh para shahabat-Nya radhiallahu `anhum.


Makna inilah yang terkandung dari hadist Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yaitu :
((من عمل عملا ليس عليه أمرنا؛ فهو رد)).

Artinya : “Barang siapa yang mengamalkan satu `amalan yang tidak ada contoh daripada Kami maka `amalan itu tertolak (tidak diterima).” Kebenaran yang dituntut dari seorang hamba untuk merealisasikannya di dalam segala bentuk `amalan dan perkataan perkataan dia seluruhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh :

Berkata Syaikh Al Albaaniy rahimahullah Ta`ala : “Hadits ini merupakan satu qaedah dari qaedah qaedah Islam, dan ini juga contoh dari jawaami`u perkataan Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian hadits ini sangat jelas sekali sebagai bantahan dan membatalkan seluruh bid`ah bid`ah dan urusan urusan baru dalam Islam ini.” Irwaaul Ghaliil (no. 88). (Nukilan dari kitab “Ilmu Ushulul Bida`, hal. 27, oleh Syaikh `Ali Hasan.

Hadits ini dan hadits “Al A`maalu Binniyyaat” adalah hadits yang sangat mulia dan besar sekali kedudukannya dalam Islam, baik dari sisi ushulnya dan cabang cabangnya, baik secara zhohirnya dan secara bathinnya.

Hadits “Innamal A`maalu Binniyyaat…….” Acuan bagi `amalan `amalan secara bathin, sedangkan hadits “Man `Amila `amalan….” Acuan terhadap seluruh `amalan yang berbentuk zhohir.

Al Ikhlaas ditujukan kepada Allah Ta`ala, sedangkan Al Mutaba`ah (mengikuti) ditujukan kepada Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam, yang kedua duanya ini merupakan syarat atas setiap bentuk `amalan baik secara zhohir dan bathin.

Barangsiapa yang meng-ikhlaskan `amalannya semata mata hanya untuk Allah, lalu dia cocokan `amalannya dengan cara Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, `amalannya baru akan diterima disisi Allah Ta`ala, sebaliknya siapapun yang tidak memenuhi dua syarat ini atau salah satunya, maka `amalannya akan tertolak.”

Makna seperti ini juga yang dinukil dari Al Fudhail bin `Iyyaadh, ketika dia menafsirkan ayat Allah Ta`ala :

((ليبلوكم أيكم أحسن عملا)). الملك (2)

Artinya : “Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang paling baik `amalannya.” Al Muluk (2).

Beliau berkata : “Al Ikhlaas dan benar,” sesungguhnya satu `amalan apabila ikhlaas di`amalkan namun tidak cocok dengan sunnah Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam tidak akan diterima oleh Allah Ta`ala, demikian juga sebaliknya apabila `amalan itu sesuai dengan sunnah Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam namun tidak Ikhlaas, juga tidak akan diterima, Al Ikhlaas; apabila `amalan itu ditujukan kepada Allah saja, As Showaab; apabila `amalan itu cocok dengan As Sunnah.” Lihat : “Ilmu Ushulul Bida`, hal. 60-61, oleh Syaikh `Ali Hasan.

Kaum muslimin rahimakumullah ! Dari ayat yang mulia ini jelas sekali bagi kita, dimana Allah `Azza wa Jall menyebutkan “Ahasanu `Amalan”, Dia tidak menyebutkan “Aktsaru `Amalan,” apa yang terkandung pada ayat itu ? Yang terkandung ialah : `Amalan apabila dikerjakan sesuai dengan syarat yang dijelaskan di atas, baru diterima oleh-Nya walaupun `amalan itu sedikit. Demikian juga sebaliknya walaupun `amalan itu banyak di `amalkan, namun tidak sesuai dengan syarat di atas sudah pasti `amalan itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah `Azza wa Jall, dan dia akan merugi di dunia dan di akhirat sebagaimana dijealaskan oleh-Nya :

((قل هل ننبئكم بالاخسرين أعمالا، الذين ضل سعيهم فى الحياة الدنيا وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا)). الكهفى (103-104).

Artinya : Katakanlah : “Apakah kalian mau Kami beritahukan tentang orang orang yang merugi dalam `amalanya ? Yaitu orang orang yang telah sia sia `amalannya dalam kehidupan di dunia ini, sementara mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik baiknya.” Al Kahfii (103-104).


Dari Sa`iid bin Al Musayyib : Sesungguhnya dia telah melihat seorang laki laki sholat setelah terbit fajar (masuk waktu subuh) lebih dari dua raka`at, dia memperbanyak ruku` dan sujud ketika itu, lantas beliau melarang laki laki tersebut dari perbuatannya itu, kemudian laki laki itu berkata : Ya Aba Muhammad ! apakah Allah akan menyiksa saya karena sholat ini ?! Beliau menjawab : “Tidak, akan tetapi Dia akan meng-adzab kamu karena kamu menyelisihi As Sunnah (cara Rasul) Shollallahu `alaihi wa Sallam.” Diriwayatkan oleh : Al Baihaqiy dalam “As Sunan Al Kubraa” (2/466), Al Khathiib Al Baghdaadiy dalam “Al Faqiih wal Mutafaqqih” (1/147), `Abdur Razaaq (3/52), Ad Daarimiy (1/116), Ibnu Nasher (hal. 84) dengan sanad yang shohih.


Berkata As Syaikh Al Albaaniy rahimahullahu T`ala : “Ini merupakan jawaban yang sangat indah sekali dari Sa`iid bin Al Musayyib rahimahullahu Ta`ala, dan ini merupakan senjata yang sangat kuat dan ampuh atas ahli Al Bid`ah, dimana mereka menganggap anggap baik dari `amalan `amalan bid`ah yang banyak dengan meng-atasnamakan dzikir dan sholat !! Kemudian mereka mengingkari orang Ahlis Sunnah ketika mereka meng-ingkari perbuatan itu, dengan cara memfitnah dan menuduh orang orang Ahlis Sunnah adalah orang orang yang mengingkari dzikir dan sholat !! Sesungguhnya orang orang Ahlis Sunnah itu hanya meng-ingkari perbuatan mereka yang menyelisihi Sunnah (cara Rasul) Shollallahu `alaihi wa Sallam baik itu sholat atau dzikir atau selainnya dari bentuk per-ibadatan yang ada.

Sumber : Buletin Jum'at Ta'zhim As-Sunnah Edisi 27 Sya'ban 1429 H